Penulis : Rahmat Sentosa Daeli
Ketua DPC GMNI Pekanbaru
Gambar : Indonesia Yang Demokratis Humanis di Masa Depan Yang Ultra-Dinamis. Lidinews |
Lidinews - Sistem dan bentuk pemerintahan dalam sejarah dunia silih berganti, mulai dari bentuk pemerintahan monarki dengan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh raja, diikuti oleh republik, autokrasi, dan berbagai macam lainnya hingga sampai ke era demokrasi yang eksis di peradaban saat ini.
Bentuk-bentuk pemerintahan ini ada yang bersifat otoritarian dengan bentuk kekuasaaan yang terpusat pada satu orang yang dikultuskan hingga yang meletakkan kekuasaan di tangan rakyat yang dimandatkan kepada wakilnya untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan.
Pembicaraan mengenai demokrasi telah diawali pada zaman Yunani (peradabannya dimulai oleh kebudayaan kreta) dimana pada saat itu dibentuk polis-polis atau negara kota yang dipimpin oleh satu pemimpin dari tiap kota masing-masing.
Proses penyelenggaraan pemerintah tidak semata dipusatkan pada satu kekuasaan yang mengatur seluruh wilayah kota dan rakyatnya namun didesentralisasikan kepada pemimpin-pemimpin di wilayah polis (negara kota).
Namun, setidaknya pada catatan sejarah homo sapien tumbuh suburnya bentuk pemerintahan demokrasi diawali dengan meledaknya revolusi Perancis pada abad ke-18 yang kemudian merambat ke berbagai penjuru benua seperti rambatan api yang tidak bisa dihentikan kobarannya.
Praktik penyelenggaraan pemerintah dengan dasar demokrasi yang menghendaki penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan memerdekakan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tentu diharapkan dapat terlaksana sebagaimana mestinya.
Praktik demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seolah menjadi konsesnsus bersama negara-negara di dunia dewasa ini. Kalau tidak demokrasi maka tidak akan demokratis, kalau tidak demokratis maka negara telah gagal menyambut terpaan zaman yang begitu dinamis bahkan menjadi ultra-dinamis pada abad 21 ini.
Tentu bisa kita katakan demikian, sebab dinamisasi dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi yang berakibat kepada dinamisasi kehidupan individu (manusia) yang tak terbendung pula.
Indonesia yang berbentuk Republik ini memang telah menggaungkan proses demokratisasi sejak awal terbentuknya, namun baru mendapat sedikit napas segar pasca reformasi 1998.
Proses terbentuknya demokrasi di Indonesia hingga abad 21 ini masih kita sebut sebagai masa transisi. Artinya untuk disebut sebagai negara demokrasi saja masih belum mampu kita iyakan sepenuhnya sebab masih dalam proses peralihan dari bentuk lama menuju demokrasi (demokratisasi).
Pemerintahan demokrasi yang sejati menghendaki adanya penegakan HAM, supremasi hukum, pembagian kekuasaan untuk proses check and balances, adanya pengadilan (kehakiman) yang independen dan imparsial. Setidaknya bibit-bibit tersebut yang harus dicipta ditanam dan ditumbuhkan dalam negara transisi demokrasi seperti Indonesia.
Namun sepanjang catatan sejarah Indonesia, catatan-catatan merah menjadi warna dalam kitab sejarah perjalanan bangsa ini. Sebut saja peristiwa pembantaian Gestapu yang merupakan genosida oleh negara (extra judicial killing), peristiwa pembunuhan aktivis sebelum dan sesudah reformasi ’98 dan ada banyak peristiwa lainnya yang tidak dapat dijabarkan secara komprehensif dalam tulisan ini namun masih hangat dalam naluri kita dalam bernegara.
Peristiwa-peristiwa ini bukan merupakan hal yang dapat dimaklumi dan dilupakan begitu saja namun justru diusut dan diselesaikan melalui insturumen HAM yang ada sebagai tanggungjawab yang harus diselesaikan di pengadilan non-akhir ini.
Namun berkaca pada negara-negara yang menjadi negara kepompong demokrasi peristiwa semacam ini menjadi keniscayaan. Namun yang menjadi bahan kontemplasi kita bersama untuk direnungkan secara mendalam ialah peristiwa-peristiwa semacam ini dengan varian-varian baru kerap terjadi meski Indonesia telah berproses untuk beralih menjadi negara demokrasi.
Hari-hari ini kita mungkin masih membicarakan peristiwa kriminalisasi warga Papua di beberapa wilayah, konflik wadas, peristiwa km. 50 dan peristiwa lainnya yang menambah catatan merah dalam rapor penegakan HAM di Indonesia sebagai negara yang berupaya untuk demokratis.
Peristiwa-peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang kita bicarakan di atas dengan terang kita ketahui dilakukan oleh pemerintah (penyelenggara negara), sehingga jika kita berbicara mengenai pemerintahan Indonesia di masa depan yang utama harus kita harapkan dan aminkan ialah pemerintahan Indonesia yang demokratis humanis.
Penegakan HAM untuk peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi harus dilaksanakan melalui instrumen-instrumen HAM yang lebih tegas dan mutakhir mengingat perkembangan dan perubahan global dan Indonesia yang ultra-dinamis dengan bentuk pelanggaran HAM yang semakin bermacam-macam.
Instrumen-instrumen dan pengadilan HAM yang ada tidak boleh menjadi aksesoris yang menjadi pelengkap namun tidak berguna demi negara demokrasi Indonesia yang sering digaung-gaungkan.
Pada hakikatnya Pekerjaan Rumah (PR) penegakan HAM merupakan tugas yang harus diselesaikan oleh Indonesia dan inovasi perlindungan HAM menjadi cita kita bersama untuk menghadapi masa depan yang semakin dinamis. Dengan melaksanakan hal ini falsafah demokrasi Pancasila menjadi jawaban tantangan zaman di masa yang akan datang.
Editor : Arjuna H T M
Indonesia Yang Demokratis Humanis di Masa Depan Yang Ultra-Dinamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar